my picture

Jumat, 16 Maret 2012

MINAT DAN KEBIASAAN MEMBACA

 Kemampuan membaca yang layak merupakan hal yang sangat vital. Kemampuan membaca mempunyai makna yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Untuk memahami iklan dalam surat kabar misalnya, diperlukan kemampuan membaca tingkat enam dan tujuh; petunjuk yang ada dalam pembungkus obat dapat dipahami oleh pembaca peringkat sepuluh; dan materi bacaan yaang tertera dalam barang yang harus diisi oleh wajib pajak, surat perjanjian, petunjuk dalam buku tabanas, dan sebagainya, menghendaki pembaca yang mempunyai peringkat dua belas (Slamet: 1978: 12).
                Bila dibandingkan dengan media komunikasi lainnya, media cetak mempunyai kelebihan khusus. Dari media cetak, pembaca memperoleh informasi secara leluasa, baik informasi masa lalu, maupun informasi masa kini. Media cetak bisa diperoleh dan dibawa dengan cara yang lebih mudah. Informasi yang dikandungnya dapat dinikmati sesuai dengan kehendak pembaca dan kapan saja.
                Pada era informasi ini, sarana bacaan kian hari kian bertambah, sementara waktu yang kita miliki tetap tidak bertambah. Satu-satunya cara untuk mengatasinya adalah dengan meningkatkan kecepatan membaca. Namun, kecepatan membaca umumnya mahasiswa berdasarkan uji coba yang dilakukan ternyata sangat rendah, hanya mencapai rata-rata 61.89 KPM, dengan KPM (Pamungkas, 2003: 121) padahal idealnya harus mencapai 400 KPM.
                Menurut Baldrige (1977) volume bacaan yang harus dibaca mahasiswa jika ingin sukses belajar di perguruan tinggi sebanyak 850.000 kata per minggu. Bayangkan berapa banyak waktu yang mesti disisihkan jika kecepatan membaca mahasiswa tidak meningkat.
                Meskipun begitu, Syukur (2001:1) mengemukakan bahwa permasalah utama peningkatan dan pengembangan budaya baca sesungguhnya tidak terletak pada bagaimana kualitas atau kemampuan membaca, termasuk di dalamnya kecepatan baca, akan tetapi justru pada tradisi baca. Untuk meningkatkan dan mengembangkan budaya membaca, perlu diarahkan kepada dua sasaran utama. Pertama, peningkatan dan pengembangan tradisi baca, dan kedua adalah peningkatan dan pengembangan kemampuan baca.
                Dalam hal ini, prioritas sasaran pertamalah yang mendesak penanganan secara khusus yaitu peningkatan dan pengembangan tradisi baca. Pelaku tradisi adalah manusia dengan segala kebiasaan dan kebutuhannya. Oleh karena itu, jika diinginkan membaca menjadi prilaku budaya, maka membaca harus menjadi kebutuhan setiap orang. “People will do what they can do when they want to” (Schermerhom, et.all, 1982), jika logika ini dianalogikan dengan kebutuhan membaca, seseorang akan membaca jika ia ingin membaca.
                Berdasarkan survey terhadap mahasiswa, tidak banyak mahasiswa yang memiliki kebiasaan membaca. Sebagian besar dari mereka membaca buku teks hanya karena wajib/diwajibkan untuk dibaca berkenaan dengan perkuliahan yang mereka ikuti, dan kebanyakan dari mereka membaca buku teks tersebut pada waktu mendekati ujian.
Sedang mereka yang memang hobi membaca, sayangnya buku bacaan mereka pun belum ideal atau tidak memadai lebih-lebih ketika dilihat dari pemilihan bacaan yang mereka lakukan. Misalnya, beberapa lebih memilih membaca majalah daripada koran, dan juga mereka lebih menyukai membaca komik/novel daripada buku-buku lain yang memuat lebih banyak pengetahuan umum.
Kebiasaan membaca buku teks mahasiswa bagi mahasiswa juga masih rentan. Dilihat dari waktu atau ketahanan baca, mereka tidak memiliki ketahanan baca yang baik. Mereka umumnya membaca buku teks kurang dari tiga puluh menit, tidak teratur, dan dengan volume bacaan yang sangat kecil yakni kurang dari 50 halaman perminggu.
                Dari sini diketahui bahwa mahasiswa belum memiliki kebiasaan baca yang baik. Aktivitas membaca bagi siapapun yang tidak atau belum terbiasa membaca sungguh bukan perbuatan yang menyenangkan. Disinilah pentingnya pembiasaan atau lazim disebut conditioning dalam proses belajar membaca.
                Membangun reading society termasuk juga membangun mahasiswa yang berbudaya baca memang tidak sederhana. Dan hal yang paling krusial dalam membangun budaya baca di negeri ini adalah tidak jelasnya political will pemerintah, pemimpin universitas, institut, dan sekolah-sekolah.
                Budaya baca pada lapis sosial manapun tidak pernah tumbuh secara alami. Oleh karena itu, membangun budaya baca perlu strategi, dan strategi yang paling mujarab sesungguhnya sangat gampang, sederhana dan tidak perlu repot, sediakan saja bacaan di depan hidung mereka. Dalam konteks kehidupan kampus, perlu juga disadari bahwa kebiasaan baca pada diri mahasiswa tidak kondusif. Karenanya, kita perlu terus memotivasi mereka antara lain melalui cara pemberian tugas baca.
____________________________________________________________________________________
Jurnal Kependidikan dan Kebudayaan
(HAL 21-28)
VIDYA KARYA
Tahun XXII, Nomor 1, april 2004
ISSN 0215-9619

Tidak ada komentar:

Posting Komentar